Kebijakan moneter baru: Quantitative Easing
Nah, selain kebijakan moneter yang terkait interest rate dan money supply, sejak tahun 2001, kemudian berkembang lagi kebijakan moneter jenis baru, yang disebut sebagai quantitative easing atau QE, yang ketika itu dipelopori oleh Bank of Japan (BOJ).
Berbeda dengan kebijakan moneter biasa dimana opsinya hanya ada dua, yakni menurunkan money supply sekaligus menaikkan interest rate, dan sebaliknya, menurunkan interest rate sekaligus menaikkan money supply (baca lagi paragraf ketiga diatas: Menurunkan interest rate berarti secara otomatis menaikkan money supply, demikian sebaliknya), maka QE adalah meningkatkan money supply tanpa menurunkan tingkat suku bunga. QE bisa dilakukan jika suku bunga acuan di negara yang bersangkutan sudah sangat rendah, yaitu sudah mendekati atau bahkan mencapai nol persen (saat ini suku bunga acuan yang ditetapkan The Fed dan BOJ hanya berkisar di angka 0 – 0.25%). Dan kebijakan inilah yang dilakukan oleh The Fed dan BOJ, dimana kedua bank sentral tersebut meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyakat (dalam hal ini masyarakat Amerika dan Jepang) dengan cara membeli aset-aset finansial/keuangan yang dimiliki oleh bank-bank komersial dan/atau institusi keuangan lainnya, sementara disisi lain suku bunga acuan tetap tidak berubah. Oleh bank-bank komersial ini, uang tersebut digunakan untuk menyalurkan pinjaman ke masyarakat/pengusaha.
Kebijakan QE ini, jika diterapkan di negara berkembang, maka akan mengakibatkan hiperinflasi. Namun jika diterapkan di negara maju, katakanlah dalam hal ini Jepang atau Amerika, terutama Jepang yang dalam lima belas tahun terakhir justru mengalami deflasi, maka QE hanya akan menyebabkan sedikit inflasi. Disisi lain deflasi yang terjadi secara terus menerus dalam suatu negara juga bisa berdampak buruk terhadap perekonomian, karena deflasi mengurangi money supply, dan berkurangnya jumlah money supply di masyarakat bisa menyebabkan berkurangnya transaksi-transaksi ekonomi (jual beli), karena alat tukar (baca: uang) yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi tersebut jumlahnya terlalu sedikit. Sementara pertumbuhan ekonomi memang hanya bisa terjadi jika terjadi transaksi jual beli bukan? Yaitu karena adanya pekerja yang menjual tenaga dan keahliannya ke perusahaan, dan perusahaan yang menjual produknya ke masyarakat termasuk ke pekerja tadi, dan demikian seterusnya berputar terus. Jika salah satu roda perputaran ekonomi tersebut mandek, misalnya ketika sebuah perusahaan bangkrut, maka disitulah akan terjadi perlambatan pertumbuhan atau bahkan kemunduran ekonomi di negara yang bersangkutan.
Pada kebijakan moneter konvensional, meningkatnya money supply di suatu negara akan secara otomatis menurunkan suku bunga, demikian sebaliknya. Tapi jika money supply meningkat sementara suku bunga tidak turun, maka apa yang turun? Jawabannya adalah yield (imbal hasil). Ketika money supply meningkat, maka harga barang-barang akan naik, termasuk harga sebuah aset finansial (contohnya perusahaan). Jika harga dari sebuah perusahaan menjadi naik meski disisi lain nilai atau jumlah dari produk yang dihasilkan perusahaan yang bersangkutan tidak berubah, maka yang turun adalah yield-nya. Contoh sederhananya mungkin seperti di saham, dimana jika harga saham sebuah perusahaan naik padahal disisi lain laba bersih atau ekuitas perusahaan yang bersangkutan tidak meningkat, maka imbal hasil dari saham itu menjadi turun. Misalnya sebuah saham EPS-nya Rp50 per saham, sementara harga sahamnya Rp500, maka imbal hasilnya 50 / 500 = 0.10 = 10%. Ketika harga saham yang bersangkutan naik jadi Rp600, sementara EPS-nya masih tetap Rp50, maka yieldnya menjadi 50 / 600 = 0.08 = 8%, alias turun dari sebelumnya 10%. Yield ini adalah ukuran paling dasar dalam menghitung valuasi suatu aset, katakanlah valuasi sebuah perusahaan. Kalau di saham, yield ini dikenal dengan Price to Earning Ratio/PER, tapi cara ngitungnya dibalik, yaitu harga saham dibagi EPS. Dan karena cara ngitungnya dibalik, maka cara baca angkanya juga dibalik: Semakin besar angka PER, maka sahamnya berarti semakin mahal. Sementara untuk yield, semakin besar angka yield, maka sahamnya/perusahaannya semakin murah.
Kembali lagi ke QE. Meski yield sebuah perusahaan sebuah perusahaan turun karena terjadinya QE, namun uang yang diperoleh perusahaan yang bersangkutan (dalam bentuk pinjaman bank) bisa digunakan untuk menambah modal usaha, menarik lebih banyak tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan. So, yield tersebut pada akhirnya akan meningkat kembali. Disisi lain meningkatnya money supply di masyarakat juga diharapkan akan mempercepat berputarnya roda perekonomian (baca: meningkatkan frekuensi transaksi jual beli), yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semua senang, semua menang.
Namun demikian, ada banyak asumsi yang harus dipenuhi agar kebijakan QE tersebut bisa mencapai tujuannya, yakni pertumbuhan ekonomi. Pertama, bank harus menyalurkan kreditnya dengan benar. Kedua, perusahaan harus menggunakan uang yang diperoleh dari bank dengan benar. Dan ketiga, masyarakat yang memperoleh uang (misalnya dari gajinya sebagai pegawai perusahaan) juga harus menggunakan uangnya dengan benar. Jika salah satu saja dari ketiga elemen tersebut tidak berfungsi dengan baik, misalnya ketika perusahaan memperoleh pinjaman bank untuk modal usaha namun ternyata usaha tersebut tidak berjalan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi tetap tidak meningkat, sementara money supply terlanjur meningkat. Ketika hal ini terjadi secara terus menerus, dimana beberapa institusi/perusahaan mulai berjatuhan dan bangkrut karena gagal membayar hutangnya, maka ketika itulah akan terjadi krisis besar di negara yang bersangkutan, yang juga bisa merembet ke negara-negara lainnya. Sebenarnya, hal itulah yang terjadi di Amerika pada tahun 2008 lalu, dan juga krisis-krisis serupa yang pernah terjadi sebelumnya lagi, dimana pemicunya boleh dibilang selalu sama: Adanya satu atau beberapa institusi keuangan besar yang bangkrut dan default (gagal membayar utangnya). Pada tahun 2008 lalu, institusi yang bangkrut tersebut adalah Lehman Brothers dan Merrill Lynch

